DPR Upayakan Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah
Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menegaskan DPR akan terus berupaya mencari solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sengketa tanah guna mencegah terjadinya konflik.
"Kami (DPR-red) akan terus melanjutkan penyelesaian konflik sengketa tanah yang selama ini terus terjadi dan belum dapat diatasi. Sejauh ini, kami sudah fokuskan untuk menangani bersama Tim 11 di BPN (Badan Pertanahan Nasional)," kata Abdul Hakam Naja kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (28/1).
Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengungkapkan Tim 11 di BPN merupakan tim yang dibagi dalam beberapa kelompok untuk menangani berbagai jenis kasus sengketa tanah, baik kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan institusi maupun kasus sengketa tanah masyarakat yang telah diadukan ke Komisi II DPR.
Ia melanjutkan, sebagai langkah awal pencarian solusi bagi permasalahan sengketa tanah, menurut Hakam Naja, Komisi II DPR akan memanggil Tim 11 dan beberapa pihak lain untuk membahas masalah-masalah pertanahan besar, khususnya yang mempunyai dampak sosial yang luas dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pihaknya menjelaskan bahwa penyelesaian beberapa kasus sengketa tanah memerlukan penanganan melalui lintas kementerian atau lintas lembaga. "Sementara ini sudah terbentuk tim pertanahan di tingkat pusat maka kami akan koordinasi lintas komisi di DPR secara intensif mengenai penyelesaian sengketa tanah ini karena beberapa pihak yang akan dipanggil memang bukan mitra Komisi II DPR, misalnya dengan Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, ataupun TNI-Polri," katanya.
Ia mengatakan Komisi II DPR berharap melalui pembahasan antara DPR, kementerian, lembaga, dan pihak-pihak lain yang terkait, dapat segera ditemukan jalan keluar atau solusi tepat untuk mengatasi permasalahan sengketa tanah yang selama ini berkepanjangan.
"Misalnya, salah satu solusi yang kami tawarkan untuk sengketa tanah dengan status kepemilikan pribadi, untuk daerah dimana para penduduknya sudah tinggal dengan jangka waktu lama dan turun-temurun maka hak kepemilikan tanah dapat diberikan kepada mereka yang dapat membuktikan hal itu dengan bukti surat tanah atau bukti fisik lainnya," ujarnya.
"Lalu, lahan itu akan dibatasi dengan 'clustering' sehingga tidak ada penambahan warga baru lagi di wilayah itu," lanjutnya.
Sementara itu, untuk permasalahan sengketa tanah antara masyarakat dengan lembaga pemerintah, menurut dia, dapat ditangani dengan 'jalan tengah' dimana salah satu pihak akan dipindahkan ke tempat yang baru.
"Contohnya, sengketa tanah antara masyarakat dan TNI di Jawa Tengah, masyarakat tinggal di daerah itu tapi lahannya dijadikan tempat latihan tentara dan keduanya memang tidak dapat disatukan maka perlu dicarikan tempat baru untuk warga dengan jumlah KK (Kepala Keluarga) yang ditetapkan," katanya.
Ia juga meminta pemerintah daerah untuk dapat mengawasi dan mengendalikan penggunaan lahan yang menjadi objek sengketa agar tidak ikut ditinggali oleh para pendatang baru karena hanya akan mempersulit penanganan sengketa suatu lahan.
"Hal seperti ini yang bisa menjadi titik lemah. Sudah ada kesepakatan bahwa tanah itu untuk jumlah KK yang ditetapkan, ternyata jumlahnya bertambah dengan pendatang baru ya akhirnya ribut lagi," ujarnya.
Dia menekankan bahwa klaim kepemilikan tanah oleh perorangan, badan hukum, maupun lembaga pemerintahan harus disertai bukti-bukti yang kuat dan dilandasi hukum. "Jadi, yang paling penting adalah mereka punya alas hukum kepemilikan tanah. Untuk pribadi, bila tidak punya catatan di BPN, mereka bisa membuktikan telah tinggal turun temurun di tanah itu karena hal ini bisa menjadi dasar," jelasnya.
Hakam Naja juga meminta BPN dan pemerintah untuk menyoroti perambahan pengambilalihan tanah oleh beberapa perusahaan. "Karena ada investor atau perusahaan 'nakal' yang sering mengambil yang bukan lahannya. Jadi, dia hanya dapat HGU (Hak Guna Usaha) dengan jumlah luas tertentu tapi dia 'merambah'. Ini salah satu yang harus diperhatikan di bidang pertanahan," ujarnya. (nt)foto:wy/parle